Memelihara kewarasan di tengah pandemi

Saya tidak tau sampai kapan stress berkepanjangan akibat pandemi ini. Setiap hari berada di dalam rumah selain untuk melindungi diri dan memang tidak ada yang bisa dilakukan. Urusan study juga jadi masalah yang tidak kunjung menemui titik terang. Lama-lama bisa enggak waras kalau setiap hari hanya melakukan pengulangan membosankan ini. 

Saya tentu sadar, kondisi seperti ini bukanlah hal yang cepat dan akan mudah berlalu. Semuanya berubah, kebiasaan, cara berfikir, cara berkomunikasi, dan banyak hal lainnya.

Hari itu teman saya mengajak untuk pergi ke sebuah tempat wisata yang menurut saya itu adalah tempat wisata nomor 1 di daerah saya. Tentunya kita pergi dengan proteksi diri dan ketaatan protokol kesehatan. Enggak lucu kalau niat membuat diri lebih sehat dan waras, namun pulang membawa penyakit. Masker, hand sanitizer, dan rambu-rambu jaga jarak yang sudah kita tanamkan adalah hal wajib. 

Kaligua, sebuah tempat yang teakhir kali saya datangi pada 2014 ini telah mengalami banyak perubahan yang signifikan. Sepertinya pemerintah daerah sudah cukup sadar akan potensi wisata yang besar dari luasnya kebuh teh dan goa jepang yang menjadi andalan tempat wisata ini. 

Kami sengaja berangkat sepagi mungkin dengan harapan akan bisa mendapat udara tersegar dari tempat ini, dan juga keadaan yang belum terlalu ramai. Perjalanan cukup berat karena harus melalui jalan menanjak yang cukup jauh, ditambah beberapa kerikil di jalan yang membuat seorang ibu-ibu N-Max jatuh di depan kita. Untungnya banyak orang yang langsung menolong dan dia tidak terlihat terluka, hanya bagian depan motornya yang terlihat sedikit lecet.

Di pintu  masuk kami diminta untuk mencuci tangan pada tempat cuci tangan yang sudah disediakan. Betapa dinginnya air di tempat ini, perbedaan suhu tubuh dan suhu udara membuat saya merasakan thermal shock yang membuat kulit tangan mati rasa. 

Setelah itu, petugas penjaga memeriksa suhu tubuh kami satu persatu. 
"35,2°C mas" ucap petugas setelah menodongkan alat pengukur suhu tubuh yang menandakan bahwa saya aman untuk masuk ke dalam tempat wisata ini.

Harga tiket masuk Rp. 20.000 dan karacis parkir Rp. 2000 merupakan biaya yang cukup terjangkau menurut saya. Dengan mengeluarkan biaya tersebut, saya sudah bisa merasakan segarnya udara perkebunan teh yang hijau dan luas. Sekalipun saya menggunakan masker, saya bisa menghirup udara segar tersebut dengan enteng. 

foto di tengah-tengah kebuh teh

Oksigen dengan sangat mudah memasuki hidup, kemudia ke paru-paru dan diangkut oleh darah untuk mengalir keseluruh tubuh. Termasuk otak saya yang kini menjadi terasa lebih enteng dengan segala fikiran stress yang saya bawa dari rumah.

Kami berjalan menyusuri perkebunan teh, masuk kebawah goa jepang, mengambil beberapa foto dan kemudian ISOMA (Istitahat Sholat makan). Sungguh seperti rundown acara yang telah ditentukan secara default oleh seksi acara kepanitiaan di sekolah. 

Foto bareng nakama-nakama



Pulangnya kami sempatkan untuk mampur kesebuah danau yang ditinggali jutaan ikan di dalamnya. Telaga Ranjeng kami menyebutnya, sebuah cagar alam yang benar-benar dijaga dan menjadi salah satu daya tarik ketika kita pergi ke Kaligua. Memberi makan ikan di pinggiran telaga Ranjeng dengan roti kami beli memberikan rasa ketenangan tersendiri. 

Ngasih makan ikan di Telaga Ranjeng

Habisnya roti yang kami beli dari abang-abang penjual roti ditepi danau menandakan bahwa agenda kami di sini telah berakhir. Kami pulang dengan perasaan yang lebih baik, otak yang lebih waras serta isi paru-paru yang telah dibersihkan oleh udara kebun teh Kaligua. 



Baca Juga

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama