Salah satu hal yang membuat saya masuk mode over-thingking saat ini adalah sesuatu yang sering kita sebut sebagai "Quarter Life Crisis". Nama yang cukup keren, tapi dampak yang ditimbulkan enggak keren sama sekali. Dikutip dari wikipedia, Quarter Life Crisis atau krisis usia seperempat abad merupakan istilah psikologi yang merujuk pada keadaan emosional yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun seperti kekhawatiran, keraguan terhadap kemampuan diri, dan kebingungan menentukan arah hidup yang umumnya dialami oleh orang-orang berusia 20 hingga 30 tahun.
gimana? gak keren kan?
Sampai saat ini pun saya belum menemukan cara untuk melewati fase ini selain mengikuti kemanapun arusnya mengalir. Maksudnya ya cuma bisa menjalani saja, gak bisa nawar.
Pemicu "Quarter Life Crisis" setiap orang juga berbeda, mulai dari hal yang remeh hingga hal esensial. Korban dari fase ini juga enggak pandang bulu, siapapun bisa.
"Kok dia sudah nikah, sudah punya anak, sudah punya rumah, sudah punya pekerjaan tetap nan enak? kok aku masih gini-gini aja, ketinggalan jauh banget, apa aku bisa sampai tahap mereka? apa yang aku lakuin sekarang bakal ada happy endingnya?"
Konyolnya, Quarter Life Crisis itu adalah sesuatu yang dibuat oleh diri kita sendiri. Begitulah kurang lebih si Quarter Life Crisis menggerogoti diri kita sedikit demi sedikit. Membuat kita terus terpaku memikirkan hal-hal tersebut sehingga waktu kita terbuang tanpa kita sadari. Membuat semangat menjadi loyo karena terus menerus memberi makan diri dengan sebuah pesimisme. dan tanpa kita sadari, kita justru membuat diri kita sendiri berada semakin jauh, semakin buruk dari yang selalu kita fikirkan, ini yang mengerikan. Saya pernah mendengar sebuah perkataan yang isinya kurang lebih seperti ini:
"Tidak semua yang Kita inginkan akan terwujud dan tidak semua yang Kita takutkan akan terjadi"
Intinya, jangan terlalu merasa bahwa kita harus mendapatkan hal yang kita inginkan. Karena ya itu, enggak semua yang kita inginkan bakal terwujud. Jadi ya sebisa mungkin meminimalisir agar kita tidak jatuh terlalu dalam ketika gagal. Memang, perasaan ambisius untuk mendapatkan sesuatu itu baik untuk menambah semangat dan daya juang, akan tetapi kita mesti manage supaya tidak terlalu over hingga berada di luar kontrol.
Kemudian perasaan takut akan segala hal yang belum terjadi, itu juga kurang lebih sama busuknya. Kadang-kadang bikin kita enggak ngotak, membayangkan kegagalan yang teramat besar, padahal memulai juga belum, apalagi kejadian. Biasanya yang kayak gini karena kita terlalu mendramatisir khayalan kita aja. Sadar atau tidak sadar perilaku semacam ini sering kita lakukan. Ketakutan berlebihan itu enggak baik (semua hal yang berlebihan memang enggak baik juga sih). Hingga saat ini saya masih belajar gimana caranya memanage rasa takut, susah memang, tapi harus diusahakan dan dibiasakan. Tidak semua yang Kita takutkan akan terjadi, kalaupun kejadian ya sudah. Harus kita terima kan, mau enggak mau, enak enggak enak. Jadi, daripada takut berlebihan,lebih baik kita siapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi.
Di usia kita yang memasuki krisis ini, masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Baik ? Buruk ? atau keduanya. Berfikir mendahului hal yang belum terjadi adalah sebuah bentuk kesombongan terhadap Tuhan. Apapun itu, mari kita nikmati saja hidup kita. Syukuri aja dulu apa yang kita punya, yang belum kita punya alangkah lebih baik hanya menjadi pengingat agar kita tidak sombong.
Oh ya, bacot saya ini bukan untuk menggurui siapapun yang membaca tulisan ini. Murni tulisan ini dibuat sebagai pengingat pribadi, kalau bisa jadi pengingat bersama saya sangat senang.