Suatu ironi, Indonesia yang dikenal dengan negara agraris dan negeri bahari ternyata tak membuat masyarakatnya meminati (bidang) pertanian, peternakan, kehutanan, kelautan yang notabene adalah potensi Indonesia. Kekayaan alam yang mempunyai potensi amat besar ini tidak di imbangi dengan rasa antusiasme yang tinggi dari generasi mudanya. tidak keren, prospek tidak menjanjikan dan takut terkena sinar matahari adalah beberapa alasannya.
Beberapa waktu yang lalu saya mengobrol dengan seorang remaja yang baru saja lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebut saja namanya Mega. Perempuan yang berusia 18 tahun ini sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Percakapan kami mengarah kepada seputar fakultas (jurusan) yang dipilihnya. Yang menarik bagi saya adalah ia mengambil pilihan pertama fakultas perikanan dan pilihan keduanya fakultas agribisnis di salah satu fakultas ternama di Pulau Jawa. Dalam hati saya berkata, apa gerangan yang membuat ia memilih jurusan yang dianggap tak populer ini.
Berdasarkan pengalaman ujian tulis SNMPTN 2010, Ketua Panitia Pusat SNMPTN 2011, Herry Suhardiyanto menuturkan lima prodi populer atau favorit dan empat prodi kurang populer. Prodi populer yaitu, Prodi Pendidikan Dokter (Fakultas Kedokteran), Prodi Sistem Informasi (Fakultas Ilmu Komputer), Prodi Teknik Tambang (Fakultas Teknik), serta Prodi Akuntansi dan Prodi Manajemen (Fakultas Ekonomi). Sedangkan prodi tidak populer atau kurang diminati adalah, Prodi Peternakan dan Prodi Pertanian (Fakultas Pertanian dan Peternakan), Prodi Sastra Daerah dan Prodi Sastra Indonesia (Fakultas Sastra). (Padang Ekspres, 29/06/2011). Bahkan hingga saat ini, Ketua SNMPTN 2012 Akhmaloka menyatakan program studi favorit masih dipegang oleh jurusan kedokteran dan teknik.
Kembali soal percakapan dengan kenalan saya tadi. Saya semakin penasaran mengapa ia memilih jurusan yang kurang populer itu. Pertanyaan itu langsung saya lontarkan kepadanya. Dengan senyum semringah ia menjawab, jurusan itu (perikanan dan agribisnis) memberikan prospek yang menjanjikan, bang. Ia menambahkan, kelak setelah lulus nanti saya akan pulang kampung untuk membangun desa saya, kata perempuan yang lahir dan dibesarkan di Pulau Sikakap, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat.
Mendengar itu, hati saya sedikit terharu karena jawabannya itu. Di tengah jaman yang serba instan, konsumtif dan pragmatis ini masih ada orang yang mencita-citakan perubahan. Seperti Mega, jurusan yang dipilihnya bukan tanpa sebab, ia menantang budaya di jamannya. Mega masih bangga dengan daerah asalnya. Mentawai adalah kabupaten termiskin di Sumatera Barat. Mega ingin membangun kelautan di Sumbar dan Mentawai khususnya. Itulah keinginannya yang membuat saya terharu. Cita-cita seperti ini patut dicontoh oleh para generasi muda Indonesia.
Sepinya minat pada jurusan-pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, dsb-bukan pula tanpa sebab. Masyarakat menilai bahwa peluang kerja di bidang itu kecil. Saya pikir itu ada korelasinya dengan perkembangan pertanian kita. Saat ini pertanian dan kelautan kita belum bisa dikatakan maju. Impor beras masih terus berlangsung. Bahkan buah-buahan seperti jeruk pun harus di impor dari luar. Padahal kita kaya akan varietas jeruk. Kementerian Perdagangan mencatat China merupakan negara sumber impor produk buah dan sayuran terbesar bagi Indonesia. Sepanjang tahun lalu, impor dua jenis produk tersebut dari China mencapai sekitar 600 juta dollar AS (Kompas.com, 11/05/2012). Sangat ironi.
Dengan kata lain, potensi besar negara kita-pertanian dan perikanan-belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Parahnya, garam dan ikan masih impor, padahal laut kita sangat luas dan punya pantai yang panjang. Salah satu sebabnya adalah minimnya ahli di bidang garam. Minimnya ahli di bidang itu dikarenakan orang-orang pintar negeri ini tidak mau/suka dengan jurusan kelautan. Indonesia dikenal dengan negara maritim yang hampir 2/3 wilayahnya adalah perairan. Namun menjadi ironis ketika sebagai negara perairan justru harus mengimpor ikan.
Dalam bidang peternakan nyatanya kita juga masih impor daging sapi. Swasembada daging sapi sudah lama didambakan mulai dari tahun 2005, kemudian direvisi menjadi tahun 2010, namun belum juga tercapai. Dan diharapkan tercapai pada tahun 2014. Kita punya fakultas peternakan, sarjana peternakan, tapi sepertinya tak kelihatan kontribusinya. Percuma saja negara kita punya potensi untuk peternakan tapi kita belum mampu memenuhi permintaan masyarakat kita sendiri.
Pihak fakultas juga jangan hanya bertahan dalam status quo. Harus ada terobosan baru yang dinamis, mengingat perkembangan jaman yang begitu cepat. Berikan kualitas yang terbaik, pengajar (dosen) yang berpengalaman, teknologi yang tercanggih, pelatihan atau pertukaran antar mahasiswa dalam dan luar negeri untuk meningkatkan mutu program studi. Fasilitas fakultas sangat menentukan kemajuan bidang studi bersangkutan. Meskipun fakultas tak populer, tapi kalau fasilitas yang disebutkan tadi sudah memadai pada akhirnya orang-orang akan mengakui juga.
Meskipun jurusan tersebut kelihatannya tak populer (menjanjikan), tapi siapa lagi yang harus turun pada bidang itu. Bukankah negara kita pernah gagal dalam swasembada beras? Kala itu, Soeharto ingin menggeser Indonesia menjadi negara industri. Fokus pembangunan ekonomi lebih banyak diarahkan pada sektor industri dan jasa. Maka terjadilah krisis ekonomi di tahun 1990-an. Tak mengherankan, Bung Karno dalam salah satu pidatonya pernah mengatakan pangan adalah persoalan hidup matinya bangsa. Dengan kata lain, memahami ilmu pertanian--pangan: beras, daging, susu, telur, ikan, dsb--berarti dapat mengatasi persoalan kehidupan bangsa.
Indonesia bisa maju kalau kita sungguh-sungguh memikirkan dan menggeluti bidang yang sepi peminat itu. Negara kita sudah lama mendambakan swasembada beras, swasembada daging, dan swasembada hasil kelautan. Di bidang itu pula yang sepi peminat.***