PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan senyawa yang bersifat pelarut universal, karena sifatnya tersebut, maka tidak ada air dan perairan alami yang murni. Tetapi didalamnya terdapat unsur dan senyawa yang lain. Dengan terlarutnya unsur dan senyawa tersebut, terutama hara mineral, maka air merupakan faktor ekologi bagi makhluk hidup. Walaupun demikian ternyata tidak semua air dapat secara langsung digunakan memenuhi kebutuhan makhluk hidup, tetapi harus memenuhi kriteria dalam setiap parameternya masing-masing.
Dalam menentukan kualitas air atau baik buruknya perairan dapat ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu : derajat keasaman (pH), oksigen terlarut, karbondioksida bebas, daya menggabung asam (DMA), salinitas air, dan Chemical Oxigen Demand (COD). Kebutuhan air untuk berbagai aspek kehidupan menyangkut baik kuantitas maupun kualitasnya. Apabila jumlah airnya berlebihan atau kurang dari yang dibutuhkan, maka akan mengganggu demikian juga kualitas airnya harus sesuai dengan peruntukannya.
Tujuan
Derajat keasaman (pH)
Tujuan dari praktikum pengukuran pH adalah :
Untuk mengetahui teknik pengambilan dan pengawetan sampel air untuk menganalisis pH.
Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan pH dari masing – masing titik dan atau waktu pengambilan sampel.
Oksigen terlarut (O2)
Tujuan dari praktikum penentuan oksigen terlarut adalah :
Untuk mengetahui teknik pengambilan sampel air untuk oksigen terlarut.
Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan oksigen terlarut dari masing – masing titik atau waktu pengambilan sampel.
Karbondioksida bebas (CO2)
Tujuan dari praktikum penentuan karbondioksida bebas adalah :
Untuk mengetahui teknik pengambilan sampel air untuk karbondioksida bebas.
Untuk mengetahui teknik analisis perbandingan karbondioksida bebas dari masing – masing titik dan atau waktu pengambilan sampel.
Daya Menggabung Asam (DMA)
Tujuan dari praktikum penentuan DMA adalah :
Untuk mengetahui teknik pengambilan sampel air untuk DMA
Untuk mengetahui teknik analisis DMA
Chemical Oxigen Demand (COD)
Tujuan dari praktikum penentuan COD adalah :
Untuk mengetahuai teknik pengambilan dan pengawetan sampel air untuk analisis COD.
Untuk mengetahui teknik pengukuran air untuk COD.
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai pH merupakan salah satu parameter yang praktis bagi pengukuran kesuburan suatu perairan. Banyak reaksi kimia penting yang terjadi pada tingkatan pH yang sulit. Menurut jenis dan aktivitas biologinya suatu perairan dapat mengubah pH dari unit penanganan limbahnya (Mahida, 1984), tetapi pada umumnya batas toleransi ikan adalah berkisar pada pH 4 “Aerd penth point” sampai pH 2 “Basie death point”. Perairan yang memiliki kadar pH 6,5 – 8,5 merupakan perairan yang sangat ideal untuk tempat hidup dan produktifitas organisme air. Derajat keasaman sering juga digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan atau perairan dalam memproduksi garam mineral. Garam mineral merupakan faktor penentu bagi semua proses produksi di suatu perairan. Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam pemantauan kualitas air, dengan mengetahui jumlah kadar pH suatu perairan kita dapat mengetahui tingkat produktifitas perairan tersebut. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952). Jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Lebih banyak ion H+ berarti lebih asam suatu larutan dan lebih sedikit ion H+ berarti lebih basa larutan tersebut. Larutan yang bersifat basa banyak mengandung OH- dan sedikit ion H+. Keasaman dan kebasaan diukur dengan skala logaritma antara 1 sampai 14 satuan. Satuan ini disebut pH dan skalanya skala pH. Oleh karena itu, nilai pH rendah menunjukan kondisi asam, dan nilai pH yang tinggi menunjukan konsentrasi H+ rendah atau konsentrasi OH- tinggi (Nybakken, 1988).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000). Kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004).
Kandungan Karbondioksida bebas (CO2) dalam suatu perairan maksimal 20 ppm (Rahmatin, 1976). Kandungan Karbondioksida bebas (CO2) pada suatu perairan melebihi 20 ppm, maka membahayakan biota laut bahkan meracuni kehidupan organisme perairan. Kandungan karbondioksida bebas dalam suatu perairan lebih tinggi dari 12 ppm dapat membahayakan kehidupan organisme perairan, dapat diasumsikan bahwa bila dalam suatu perairan kadar Karbondioksida (CO2) berlebihan dapat berdampak kritis bagi kehidupan binatang air (Spotte, 1920).
Karbondioksida bebas (CO2) merupakan salah satu gas respirasi yang penting bagi sistem perairan, kandungan karbondioksida bebas dipengaruhi oleh kandungan bahan organik terurai, agilasi suhu, pH, dan aktivitas fotosintesis. Sumber CO2 bebas berasal dari proses pembangunan bahan organik oleh jasad renik dan respirasi organisme (Soesono 1970), dan menurut Widjadja (1975) karbondioksida bebas dalam perairan berasal dari hasil penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri dekomposer atau mikroorganisme, naiknya CO2 selalu diiringi oleh turunya kadar O2 terlarut yang diperlukan bagi pernafasan hewan-hewan air. Dengan demikian walaupun CO2 belum mencapai kadar tinggi yang mematikan, hewan-hewan air sudah mati karena kekurangan O2. Kadar CO2 yang dikehendaki oleh ikan adalah tidak lebih dari 12 ppm dengan kandungan O2 terendah adalah 2 ppm (Asmawi, 1983).
Istilah karbondioksida bebas digunakan untuk menjelaskan CO2 yang terlarut dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion bikarbonat ( HCO3) dan ion karbonat ( CO32-). Karbondioksida bebas (CO2) bebas menggambarkan keberadaan gas CO2 di perairan yang membentuk keseimbangan dengan CO2 di atmosfer. Nilai CO2 yang terukur biasanya berupa CO2 bebas. Perairan tawar alami hampir tidak memiliki pH > 9 sehingga tidak ditemukan karbon dalam bentuk karbonat. Pada air tanah, kandungan karbonat biasanya sekitar 10 mg/L karena sifat tanah yang cenderung alkalis. Perairan yang memiliki kadar sodium tinggi mengandung karbonat sekitar 50 mg/L. Perairan tawar alami yang memiliki pH 7 – 8 biasanya mengandung ion karbonat < 500 mg/L dan hampir tidak pernah kurang dari 25 mg/L. Ion ini mendominasi sekitar 60 – 90% bentuk karbon organik total di perairan (McNeeley, 1979 dalam Effendi, 2003).
Kadar karbon di perairan dapat mengalami penurunan bahkan hilang akibat proses fotosintesis, evaporasi dan agitasi air. Perairan yang diperuntukan untuk kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5 mg/L. Kadar karbondioksida sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/L (Byod, 1988 dalam Mahida, 1948).
Karbondioksida bebas dalam perairan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu sebagai berikut :
Difusi dari atmosfer, karbondioksida yang terdapat di atmosfer mengalami difusi secara langsung ke dalam air.
Air hujan yang jatuh di permukaan bumi secara teoretis memiliki kandungan karbondioksida sebesar 0,55 – 0,60 mg/L, berasal dari karbondioksida yang terdapat di atmosfer.
Tanah organik yang mengalami dekomposisi mengandung relatif banyak karbondioksida sebagai hasil proses dekomposisi.
Respirasi tumbuhan, hewan, dan bakteri aerob maupun anaerob.
Sebagian kecil karbondioksida yang terdapat di atmosfer larut ke dalam air membentuk asam karbonat, yang selanjutnya jatuh sebagai hujan. Sehingga air hujan selalu bersifat asam dengan nilai pH sekitar 5,6.
Daya Menggabung Asam (DMA) adalah suatu cara menyatakan alkalinitas suatu perairan. Jika DMA rendah, perairan itu kurang baik daya penyangganya, sebaliknya jika DMA tinggi, maka perairan tersebut daya produksinya secara hayati bisa menjadi lebih besar dalam batas tertentu (Soeseno, 1970). Menurut Wardoyo (1981), alkalinitas atau DMA suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator subur atau tidaknya suatu perairan. Alkalinitas juga menggambarkan kandungan basa dalam kation NH4, Ca, Mg, K, Na, dan Fe yang pada umumnya bersenyawa dengan anion karbonat dan bikarbonat, asam lemah dan hidroksida. Soeseno (1974) menyatakan apabila DMA suatu perairan tinggi maka daya produksinya secara hayati bisa besar, dan apabila DMA perairan rendah maka perairan itu kurang baik daya penyangganya (soft water).
Berdasarkan penentuan DMA menurut (asmawi, 1983) perairan dibagi menjadi 4 golongan yaitu:
Perairan dengan DMA 0 sampai 0,5.
Perairan golongan ini terlalu asam dan tidak produktif sehingga tidak baik untuk memelihara ikan.
Perairan dengan DMA 0,5 sampai 2,0.
Perairan ini pH-nya masih belum mantap tetapi sudah dapat di pakai untuk memelihara ikan, dan produktifitas kandungan bahan organik sudah tergolong tinggi.
Perairan dengan DMA 2,0 sampai 5,0 .
Perairan golongan ini pH-nya sudah agak basa, sangat produktif dan sangat baik untuk kehidupan ikan.
Perairan dengan DMA 5,0.
Perairan yang ini tarmasuk golongan perairan yang terlalu basa, dengan demikian berarti kurang baik untuk memelihara ikan.
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimiawi, dengan reduktornya KMnO4 atau K7Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidixing Agent). Selain itu, penetapannya di dasarkan atas reaksi oksidasi bahan organik dengan oksigen dan proses tersebut berlangsung secara kimia dalam kondisi asam dan mendidih, dalam melakukan percobaan COD ini dapat menggunakan metode permanganat dan bikromat (Soeseno, 1970). Menurut (lee at al., 1978), semakin banyak bahan organik yang menumpuk dalam suatu perairan, nilai COD akan semakin tinggi dan kemudian akan menurun dengan adanya dekomposer lebih lanjut dari bahan organik.
MATERI DAN METODE
Materi
Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum adalah kertas pH universal (0-14), botol winkler, magnetic stirrer, buret dan statif, labu Erlenmeyer, pipet karet,atau pipet seukuran, labu takar, beker gelas, gelas ukur, botol, penangas air, dan refluks.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah larutan KCI jenuh, sampel air, larutan MnSO4, larutan KOH-KI, larutan Na2S2O3 0,025 N, larutan K2Cr2O7 0,025 N, larutan H2SO4 4 N, indikator amilum0,5%, larutan Na2CO3 0,01 N, indikator phenolpthalein 0,5%, larutan HCl 0,1 N, indikator methyl orange 0,1%, larutan KMnO4 0,01 N, larutan asam asetat 0,01 N, akuades, bubuk HgSO4, dan asam sulfamat.
Waktu dan Tempat
Praktikum penentuan derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (O2), karbondiokosida bebas (CO2), daya menggabung asam (DMA), dan Chemical Oxygen Demand (COD) dilaksanakan di Loboratorium Aquatik (Jurusan Perikanan dan Kelautan) Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman, Sabtu, 24 Oktober 2009.
Metode
Prosedur penelitian ini yaitu :
Kertas indikator pH diambil selembar dan dicelupkan ke dalam air kran selama beberapa menit (± 5 menit).
Kemudian perubahan warna yang terjadi pada ke kertas pH tersebut dicocokkan dengan warna standar dan hasilnya dicatat.
Prosedur pengukuran O2 terlarut yaitu :
Sampel air diambil dengan menggunakan botol Winkler 250 ml, lalu ke dalamnya ditambahkan 1 ml larutan MnSO4, dan 1 ml larutan KOH-KI dengan bantuan pipet seukuran.
Botol sampel ditutup dengan hati-hati agar udara tidak masuk ke dalam botol dan dibolak balik minimal sebanyak 15 kali dan sesudahnya didiamkan (± 2 menit) sampai terjadi endapan berwarna coklat atau sampai sekurang kurangnya cairan supernatan menjadi tampak jernih. Untuk menghindari kontak dengan kulit sarung tangan digunakan.
Selanjutnya larutan H2SO4 pekat sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalamnya dengan bantuan pipet tetes. Botol ditutup kembali dengan hati-hati dan dikocok dengan baik-baik agar seluruh isi botol tercampur rata. Lalu pengocokkan dilakukan lagi sampai semua endapan menjadi larut dan berwarna coklat kekuningan.
Sebanyak 100 ml larutan di atas diambil dengan menggunakan gelas ukur dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,025 N yang sudah distandardisasi dan labu erlenmeyer dikocok hingga tercampur merata sampai terjadi perubahan warna larutan dari coklat sampai kuning muda.
Kedalamnya ditambahkan indikator amilum sebanyak 10 tetes hingga larutan berubah menjadi warna biru. Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru tepat hilang (kembali seperti warna asal). Titran ditambahkan 1 tetes bila saat titik akhir dicapai dan titrasi dilakukan duplo. Volume titrasi yang dipergunakan dicatat.
Rumus perhitungannya adalah :
Kadar O2 terlarut = x p x q x 8 ml/L
Keterangan :
p = jumlah ml Na2S2O3 yang terpakai
q = normalitas larutan Na2S2O3
8 = bobot setara O2
Prosedur pengukuran CO2 bebas yaitu :
Sampel air diambil dengan botol Winkler 250 ml, diambil 100 ml dengan menggunakan gelas ukur dan dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer.
Kedalamnya ditambahkan 10 tetes indikator phenolptalein (pp).
Kemudian dititrasi dengan larutan Na2CO3 0,01 N sampai larutan berwarna merah muda tipis (pink).
Rumus perhitungannya adalah :
Kadar CO2 bebas = x p x q x 22 ml/L
Keterangan :
p= jumlah Na2CO3 yang terpakai
q= normalitas larutan Na2CO3
22= bobot setara CO3
Prosedur Penentuan DMA yaitu :
Sampel air diambil dengan botol sampel 250 ml dengan gelas ukur diambil 100 ml dan dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer.
Ditambahkan 3 tetes indikator methyl orange (MO).
Kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N sampai larutan berwarna merah bata dan titrasi dilakukan duplo.
Rumus perhitungannya adalah :
Kadar DMA : x p x q ml/L
Keterangan :
p= jumlah ml larutan HCl yang terpakai
q= normalitas larutan HCl.
Prosedur penentuan Oxygen Demand yaitu :
Sampel air diambil dengan botol sampel dan bila perlu lakukan pengenceran (tingkat pengenceran tergantung pada kondisi sampel air yang akan diteliti, misalnya dapat 0,5%, 0,1% atau bahkan lebih kecil lagi, khususnya untuk sampel air dari limbah industri tertentu).
Kemudian ditempatkan ke dalam labu Erlenmeyer sebanyak 100 ml dan ditambahkan sebanyak 5 ml larutan H2SO4 4 N dan 10 ml larutan KMnO4 0,01 N.
Didihkan selama 10 menit dan setelah dingin ditambah sebanyak 10 ml larutan asam oksalat 0,01 N.
Dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk larutan berwarna merah muda (ros).
Rumus perhitungannya adalah :
Kadar COD = 1000/100 × {( 10 + a ) F-10 } × 0,01 × 31,6 mg/L
Keterangan :
a = ml KMnO4 yang terpakai
F = faktor koreksi KMnO4
31,6= berat eqivalen KMnO4
Prosedur penentuan faktor koreksi :
Aquades diambil sebanyak 100 ml dan ditempatkan didalam jabu erlenmeyer.
Kemudian ditambahkan sebanyak 5 ml larutan H2SO4 4 N dan 10 ml larutan asam oksalat 0,01 N. Lalu digoyang – goyangkan hingga merata dan didiamkan 10 menit.
Selanjutnya dititrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk larutan yang berwarna merah muda (ros).
Rumus perhitungannya adalah :
Faktor Koreksi = 10/(ml KMnO4)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1. Perbandingan hasil percobaan.
Kel Sampel Air Parameter
O2 CO2 DMA pH Salinitas Air COD
1 Air Kran 9,2 2,64 3,6 7 0 20,41
2 Air Kolam 8,8 3,96 1,5 7 0 22,39
3 Air Payau 7,8 – 0,38 8 1,5 -59,6
4 Air Laut 7,4 – 4,1 8 30 24,36
5 Air Hujan 10,4 1,98 1 5 0 18,18
Pembahasan
Keterangan : <8.5 = tidak bisa digunakan untuk perikanan.
4 = tidak terdapat organisme akuatik.
Berdasarkan hasil percobaan dari setiap kelompok, sampel air mempunyai nilai pH yang berbeda – beda yaitu : air kran 7, air kolam 7 air payau 8, air laut 8, air hujan 5. Sebagian besar ikan dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan perairan yang mempunyai derajat keasaman berkisar antara 5-9. Pada kolam budidaya, fluktuasi sangat dipengaruhi oleh proses respirasi karena gas karbondioksida yang dihasilkannya. Pada kolam yang banyak dijumpai alga atau tumbuhan lainnya, pH air pada pagi hari biasanya mencapai kurang dari 6,5 sedangkan pada sore hari dapat mencapai 8-9.
Air kran memiliki tingkat derajat keasaman (pH) 7 artinya ikan yang hidup dalam air kran mempunyai produktifitas sedang dan pengaruh air kran terhadap ikan adalah baik untuk reproduksi. Hal ini berarti air kran baik untuk budidaya ikan, karena pH dibawah 6,5 produktifitas lambat atau bahkan mematikan dan tidak ada reproduksi sedangkan tingkat keasaman >8,5 kondisi air terlalu basa sehingga tidak ada reproduksi dan tidak bisa untuk budidaya ikan.
Tabel 2. Pengaruh kisaran pH terhadap ikan.
Kisaran pH Pengaruh Terhadap Ikan
4-5 Tingkat keasaman yang mematikan dan tidak ada reproduksi
4-6,5 Pertumbuhan Lambat
6,5-9 Baik untuk Reproduksi
>11 Tingkat alkalinitas mematikan
Keterangan : <2 = mengakibatkan kematian
5 = baik untuk perairan (perikanan)
Berdasarkan grafik diatas nilai oksigen terlarut pada sampel berbeda – beda yaitu : air kran 9,2 ml/L, air kolam 8,8 ml/L, air payau 7,8 ml/L, air laut 7,4 ml/L sedangkan pada air hujan adalah 10,4 ml/L. Hasil praktikum kelompok 1 dengan menggunakan sampel air kran didapat nilai oksigen terlarut sebesar 9,2 ml/L. Menurut Mc Neely et al (1979), di perairan tawar kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 ml/L. Berdasarkan pendapat Mc Neely et al, diatas maka hasil praktikum sesuai dengan pendapat Mc Neely et al karena air kolam memiliki nilai oksigen terlarut 6,5 mg/L.
Jumlah oksigen terlarut dalam perairan tidak konstan seperti di udara, tetapi berfluktuasi dengan nyata tergantung pada kedalaman suhu, angin, dan banyaknya kegiatan (Ewusie, 1990). Kadar oksigen terlarut suatu perairan dapat juga digunakan sebagai petunjuk kualitas suatu perairan (Welch, 1952). Hal ini ditunjukan pada grafik diatas bahwa air hujan adalah air yang memiliki kadar oksigen terlarut terbesar diantara air yang lain. Artinya bahwa air hujan adalah air yang paling efektif untuk kehidupan makhluk hidup di perairan yang berkualitas. Sumber utama dalam perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dari hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan (Salmin, 2000).
Keterangan : < 5 mg/l = baik untuk perikanan.
10 mg/l = masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik.
60 mg/l = batas akhir perairan yang baik untuk perikanan.
Berdasarkan grafik di atas, kandungan karbondioksida bebas pada masing-masing sampel air berbeda. Data yang diperoleh yaitu : pada air kran kandungan CO2 sebanyak 2,64 ml/L, air kolam sebanyak 3,96 ml/L, air hujan sebanyak 1,98 ml/L, air laut sebanyak 0 ml/L dan pada air payau sebanyak 0 ml/L. Dari data tersebut menunjukan perbandingan antara sampel air yang satu dengan sampel air yang lain. Terlihat bahwa kandungan CO2 bebas pada tiap-tiap sampel air memiliki masing-masing kandungan CO2 bebas yang berbeda – beda. Hasil praktikum kelompok 1 menggunakan air kran mempunyai kandungan CO2 sebanyak 2,64 ml/L, sehingga air kran baik untuk budidaya perikanan.
Dalam suatu perairan terdapat perbandingan antara CO2, O2, DMA, COD dan pH. Perbandingan tersebut yaitu apabila suatu perairan memiliki kandungan CO2 tinggi maka perairan tersebut akan memiliki kandungan O2 rendah, COD lebih tinggi, DMA lebih rendah dan pH yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan dalam suatu perairan yang terdapat banyak organisme, maka dibutuhkan banyak O2, sehingga O2 dalam perairan tersebut berkurang, dan organisme tersebut mengeluarkan banyak CO2, jadi kandungan CO2 dalam perairan tersebut bertambah, sehingga kandungan pH dalam air tersebut tinggi (bersifat basa). Demikian pula sebaliknya apabila kandungan CO2 rendah.
Karbondioksida bebas ditentukan berdasarkan teori bahwa CO2 bebas hanya terdapat dalam air pada pH di bawah 7. Pada air dingin diteteskan indikator phenolphthalein sebanyak 10 tetes dan di titrasi sampai berwarna merah muda. Banyaknya Na2CO3 yang terpakai dalam titrasi menunjukan CO2 bebas dalam air. Apabila setelah di titrasi air tersebut berwarna merah muda, berarti pH pada sampel air tersebut diatas 7. Kadar CO2 bebas sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/L (Wardoyo, 1981).
Keterangan : <0,5 = perairan tidak produktif
0,5-2 = produktifitas sedang
<2-2,5 = produktifitas tinggi
Berdasarkan grafik di atas, perbandingan daya menggabung asam (DMA) pada masing-masing sampel air berbeda. Data yang diperoleh yaitu : air kran 3,6 ml/L, air kolam 2,5ml/L, air payau 0,38 ml/L, air laut 4,1 ml/L, air hujan 1 ml/L. Nilai alkanitas yang terlalu tinggi atau rendah dapat menghambat perkembangan organisme perairan, DMA perairan berkisar antara 2,0-5,0 ppm dan membagi perairan menjadi empat golongan sebagai berikut:
Perairan dengan DMA 0-0,5 terlalu asam dan tidak produktif sehingga tidak baik untuk pemeliharaan ikan.
Perairan dengan DMA 0,5-2,0 memiliki pH belum mantap tapi sudah dapat dipakai untuk memelihara dan produktifitasnya tergolong tinggi.
Perairan dengan DMA 2,0-4,0 pH sudah agak basa, sangat produktif dan baik untuk pemeliharaan ikan.
Perairan dengan DMA 5,0 maka tergolong terlampau basa sehingga kurang baik untuk pemeliharaan ikan (Soeseno, 1974).
Alaerts (1984) menyatakan bahwa alkanitas/DMA adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa penurunan nilai pH larutan. Alkanitas merupakan gambaran kadar basa dari kation NH4, Ca, Mg, K, Na, dan Fe yang umumnya bersenyawa dengan anion karbonat, bikarbonat, asam lemah, dan hidroksil. Alkanitas juga merupakan kapasitas air untuk menerima proton. Besar kecilnya nilai alkanitas total atau DMA suatu perairan dapat menunjukkan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburannya. Kesadahan air merupakan banyaknya garam-garam magnesium dan kalsium yang terlarut yang digambarkan sebagai mg/L kalsium karbonat. Air dengan kesadahan rendah diklasifikasikan sebagai badan air yang mengandung kurang dari 50 mg/L kalsium karbonat. Dari grafik diatas diketahui bahwa air laut adalah air yang paling banyak mengandung DMA, artinya bahwa air laut memiliki daya menggabung asam yang baik dan juga memiliki daya ikat proton yang baik pula. Semakin tinggi tingkat DMA suatu perairan maka semakin tinggi kapasitas penyangga dan semakin tinggi tingkat kesuburannya.
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimiawi, dengan reduktornya KMnO4 atau K7Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidixing Agent). Selain itu, penetapannya di dasarkan atas reaksi oksidasi bahan organik dengan oksigen dan proses tersebut berlangsung secara kimia dalam kondisi asam dan mendidih. Dalam melakukan percobaan COD ini dapat menggunakan metode permanganat dan bikromat (Soeseno, 1970). Menurut Santika dan G. Alerts (1987) COD adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat -zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidizing Agent). Proses aerasi adalah proses penambahan oksigen (Sugiharto, 1987). Dengan menambahkan oksigen maka kadar COD akan mengalami perubahan sehingga proses aerasi dapat menurunkan kadar COD.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum adalah :
Nilai perbandingan pH pada pustaka dan air kran berbeda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor suhu, tingkat kecerahan air, warna, serta sifat fisika dan kimia lain pada perairan tersebut.
Kadar oksigen terlarut dalam perairan sangat bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosferkadar oksigen terlarut di air semkin kecil.
Kandungan CO2 bebas dalam suatu perairan tidak sama. Apabila kandungan CO2 dalam suatu perairan tinggi, maka kadar O2 perairan tersebut rendah dan pHnya tinggi sehingga perairan tersebut bersifat basa. Karbondioksida sebesar 10ml/L masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik asal disertai oksigen yang cukup.
Untuk menunjukkan kapasitas penyangga dan tingkat kesuburan suatu perairan dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya nilai alkalinitas total atau DMA.
Semakin banyak bahan organik yang menumpuk dalam suatu perairan, nilai COD akan semakin tinggi dan kemudian akan menurun dengan adanya dekomposer lebih lanjut dari bahan organik.
5.2 Saran
Dalam hal ini praktikan hanya memberikan saran bahwa air kran dapat digunakan sebagai media untuk budidaya perikanan karena fakor – faktor yang mempengaruhi kondisi kimia air sudah cocok dan tepat untuk reproduksi dan kelangsungan hidup organisme akuatik.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, S. 1983. Pemeliharaan Ikan Dalam Keramba . PT. Gramedia, Jakarta.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourt Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama USA. 395.
G, Alaerts dan S.S. Santika. (1987). Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional.
Graham, J.B. 1997. Air Breating Fishes. Academic Press, London.
Huet, H.B.N. 1970. Water Quality Criteria for Fish Life Bioiogical Problems in Water Pollution. PHS. Publ. No. 999-WP-25. 160-167 pp.
Lee,C.D. wang and C. L. Kuo 1978. Benthos Makro invertebrate and fish as biologycal indikator of water quality. In E.A.R. Quano. Asian Ins. Teach, Bangkok.
Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. C. V. Rajawali. Jakarta.
Mc Neelev, 1978 dalam Effendi Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanius. Yogyakarta.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of ecology. Third edition. W. saunders. CO, Philadelphia.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang (Djoko P. Praseno, Ricky Rositasari dan S. Hadi Riyono, eds.) P3O – LIPI hal 42 – 46.
Soeseno, S. 1970. Limnologi. Direktorat JenderaL Perikanan Departemen Perikanan, Jakarta.
Soeseno. S . 1970. Limnologi untuk Sekolah Perikanan Menengah Atas. IPB, Bogor.
Soeseno. 1970. Pencemaran Lingkunga. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah.
Soeseno,S.1974.Limnologi.Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan : Jakarta.
Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UIP: 6-7.
Swingle, H.S. 1968. Standardization of Chemical Analysis for Water and Pond Muds. F.A.O. Fish, Rep. 44, 4 , 379 – 406 pp.
Wardoyo. S. T. 1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Perikanan dalam Analisa Dampak Lingkungan. PLN-PUDSI. IPB. Bogor.
Tags:
referensi
ntaps mz tyar, nuwun
sami sami mas fikzi... ngapunten ora rapih tulisane